Pembuatan Perjanjian Pisah Harta Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015

Pada artikel sebelumnya saya telah mengupas aspek hukum mengenai Perjanjian Pra Nikah alias Perjanjian Pisah Harta alias Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan maupun perbandingannya dengan pengaturan terdahulu dalam KUH Perdata.

Silahkan untuk membuka link ini: mengupas-aspek-hukum-perjanjian-pra-nikah

Pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya mengabulkan permohonan uji materi terhadap ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya untuk mempersingkat saya sebut “UU Perkawinan“).

Untuk amar putusan bisa diperoleh di website resmi MK, namun pada artikel ini saya akan menuangkan perbandingan bunyi Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan, karena ternyata Putusan MK ini menciptakan suatu norma hukum baru terkait Perjanjian Pra Nikah alias Perjanjian Pisah Harta alias Perjanjian Perkawinan sebagai berikut.

Sebelumnya:

Pasal 29 UU Perkawinan

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Setelah Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 Menjadi:

Pasal 29 UU Perkawinan

(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Norma Hukum Baru Mengenai Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK

Silahkan diperhatikan kalimat-kalimat khususnya yang saya tebalkan dan garis bawahi. Dari bunyi ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan pasca Putusan MK tersebut di atas, dapat kita lihat adanya norma-norma hukum baru mengenai Perjanjian Perkawinan yaitu:

(1) Perjanjian Perkawinan Dapat Dibuat Setelah Perkawinan Dilaksanakan

Saya sulit untuk memberikan komentar mengenai hal ini, karena mungkin saya sudah terlalu terdoktrinasi dengan norma sebelumnya yang berlaku di UU Perkawinan yaitu Perjanjian Perkawinan hanya di buat sebelum atau paling lambat pada saat perkawinan dilangsungkan. Bahkan KUH Perdata secara tegas mengatur bahwa Perjanjian Perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.

Namun demikian ini adalah putusan hukum yang harus dilaksanakan dengan segala konsekuensinya. Jadi sekarang pintu terbuka lebar bagi pasangan yang ingin membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berjalan atau bagi pasangan yang dahulu lupa atau terlewat untuk membuat Perjanjian Perkawinan kini diberikan kesempatan kedua untuk membuatnya.

Bagi WNI yang melakukan perkawinan dengan WNA namun lupa untuk membuat Perjanjian Pisah harta sehingga kesulitan karena tidak bisa membeli tanah dan/atau bangunan di Indonesia sekarang sudah ada solusi untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut.

(2) Pengesahan Perjanjian Perkawinan Boleh Oleh Notaris

Coba perhatikan kata-kata: “……. perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, ………….“.

Bunyi pasal ini menurut saya menimbulkan penafsiran bahwa pengesahan Perjanjian Perkawinan selain dapat dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, kini juga dapat dilakukan oleh Notaris. Jadi para Notaris menurut Putusan MK ini mendapatkan kewenangan baru yaitu mengesahkan Perjanjian Perkawinan.

Namun demikian ada beberapa ahli hukum yang berpendapat, pengesahan oleh Notaris ini dirasa kurang kuat dan agar memiliki kekuatan mengikat kepada pihak ketiga harus tetap didaftarkan kepada pengawai pencatat nikah atau Catatan Sipil.

Sedangkan sampai dengan tulisan ini dibuat, sepengetahuan saya belum ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis pada catatan sipil mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan yang dibuat setelah dilaksanakannya perkawinan. Singkatnya pendaftaran tersebut kemungkinan akan menghadapi penolakan atau kendala di Catatan Sipil.

Mengenai hal ini, penulis berpendapat bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris sudah berlaku secara sah dan mengikat sesuai dengan diktum Putusan MK tersebut, dan ini harus diakui sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. Sedangkan apabila bagi para pihak ingin didaftarkan, maka dapat diajukan permohonan penetapan pendaftaran pada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal bersama dari suami dan istri tersebut.

Dalam penetapan tersebut akan memuat perintah pengadilan kepada Catatan Sipil untuk melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut. Mengenai hal ini telah ada beberapa yurisprudensi penetapan pengadilan yang memerintahkan Catatan Sipil untuk melakukan pendaftaran terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan dan lebih lanjut mengenai yurisprudensi ini akan saya bahas pada artikel terpisah.

Update: Prosedur Pencatatan Perjanjian Perkawinan Selama Ikatan Perkawinan pada Catatan Sipil

(3) Boleh Berlaku Efektif Terhitung Sejak Tanggal Perjanjian Perkawinan

Ini menurut saya adalah logika hukum yang benar, khususnya bagi Perjanjian Perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan. Hal ini disebabkan pemberlakukan Perjanjian Perkawinan yang demikian itu secara surut (retroaktif) dapat menimbulkan permasalahan baru mengenai kepastian hukum atas harta bersama yang diperoleh antara rentang waktu tanggal perkawinan sampai dengan tanggal Perjanjian Perkawinan.

Jadi penting untuk diingat bagi yang ingin membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung, sebaiknya agar dibuat bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut berlaku terhitung sejak tanggal Perjanjian. Jangan dibuat berlaku sejak perkawinan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

(4) Perjanjian Perkawinan Boleh Dicabut

Saya kembali tidak bisa berkata-kata, sekali lagi karena norma hukum baru ini agak bertentangan dengan doktrin yang saya terima ketika mempelajari mengenai Perjanjian Perkawinan menurut UU Perkawinan dan KUH Perdata. Sebelumnya UU Perkawinan memperbolehkan Perjanjian Perkawinan untuk diubah tetapi tidak secara eksplisit mengatakan Perjanjian Perkawinan boleh dicabut. KUH Perdata bahkan lebih kaku lagi karena menyatakan bahwa Perjanjian Perkawinan sama sekali tidak boleh diubah. Alasan norma hukum ini adalah untuk menjamin kepastian hukum atas harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan, jangan sampai ada sengketa mengenai mana yang termasuk harta bersama mana yang bukan.

Pengaturan bahwa Perjanjian Perkawinan boleh dicabut dan Perjanjian Perkawinan dapat dibuat setelah perkawinan (sepanjang dalam ikatan perkawinan), menimbulkan potensi adanya siklus perjanjian perkawinan yang dibuat lalu dicabut lalu dibuat lagi lalu dicabut dan seterusnya. Kepastian hukum yang coba dijamin pada pengaturan sebelumnya dalam UU Perkawinan dan KUH Perdata menjadi tidak tercapai.

Namun demikian sekali lagi ini adalah putusan yang harus kita hormati dan laksanakan, dengan demikian norma hukum baru ini demi hukum diberlakukan dalam masyarakat.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas Putusan Mahkamah Konstitusi ini, saya dapat katakan bahwa norma hukum baru mengenai Perjanjian Perkawinan ini membawa kabar baik setidaknya bagi dua kelompok yaitu:

(1) Bagi WNI yang waktu melakukan perkawinan dengan WNA lupa atau terlewat untuk membuat Perjanjian Pisah Harta. Ini kesempatan kedua bagi kalian. Don’t miss it!

(2) Bagi para Notaris yang kini diberikan kewenangan tak hanya untuk membuat namun sekaligus mengesahkan Perjanjian Perkawinan, jangan lupa ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan yang masih berlaku yang berbunyi “(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.” Bagaimana batasan-batasan yang dimaksud untuk Perjanjian Perkawinan, ini akan menjadi pembahasan yang menarik yang mungkin bisa kita bahas di lain waktu.

Salam Inspirasi,

Arko Kanadianto, S.H., M.Kn.

Email: arko.kanadianto@corporindo.com

www.corporindo.com

Artikel Terkait

One Response to Pembuatan Perjanjian Pisah Harta Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015

  1. fhauzi says:

    1. apakah pengesahan perjanjian perkawinan oleh notaris dapat memberikan kepastian hukum? karena awalnya tidak ada aturan yg mengatur terkait pengesahan perjanjian perkawinan oleh notaris dan jika ditafsirkan secara acontrario ps 29 ayat 1 UUP pengesahan yg dilakukan pegawai pentatat perkawinan adalah bukan bersifat pengesahan terhadap isi melainkan pengesahannya bersifat publikasi kepada pihak ketiga sehingga perjanjian perkawinan tsb mengikat bagi pihak ketiga.
    2. apa akibat hukum dari perjanjian perkawinan yg disahkan oleh notaris? apakah tetap sama seperti pengesahan perjanjian perkawinan yg disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *