Perjanjian Sebaiknya Akta Notaris Atau Bawah Tangan?

Saya terpancing membuat artikel mendasar dan sederhana ini berdasarkan pertanyaan seorang teman yang menanyakan ketika dirinya hendak membuat perjanjian, sebaiknya dalam bentuk Akta Notaris (otentik) atau cukup bawah tangan saja?

Saya menjawab sebaiknya dalam bentuk Akta Notaris, karena lebih kuat. Kemudian teman saya bertanya lagi, lebih kuat bagaimana maksudnya? Nahh jadi panjang kan.. Hehehe.. Agar lebih lengkap mari kita simak pembahasan sebagai berikut.

Perjanjian Sebagai Alat Pembuktian

Mungkin sebaiknya saya memulai pembahasan dari pertanyaan mengapa sih kita membuat perjanjian secara tertulis? Jawabannya tentu saja adalah untuk tujuan pembuktian adanya perjanjian tersebut sehingga mau tidak mau saja harus mengupas sedikit hukum pembuktian khususnya dalam bidang hukum perdata.

Pasal 1866 KUH Perdata telah mengatur mengenai apa saja alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam lapangan hukum perdata yaitu: (i) bukti tulisan; (ii) saksi-saksi; (iii) persangkaan-persangkaan; (iv) pengakuan; dan (v) sumpah. Kelima alat bukti ini agak berbeda sedikit dengan hukum pembuktian yang diatur dalam bidang hukum pidana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: (i) Keterangan Saksi; (ii) Keterangan Ahli; (iii) Surat; (iv) Petunjuk; dan (v) Keterangan Terdakwa.

Saya cetak tebal mengenai bukti tulisan karena ini akan sangat berkaitan dengan pembahasan kita ini. Lebih lanjut Pasal 1867 KUH Perdata mengatur bahwa bukti tulisan dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Akta Otentik; dan (2) Akta Bawah Tangan. Marilah kita bahas sedikit mengenai kekuatan pembuktian masing-masing.

Karakteristik dan Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Akta Otentik adalah suatu akta yang (dibuat) di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat-pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUH Perdata).

Pejabat umum yang dimaksud dalam pasal ini ada beberapa tergantung kewenangan apa yang dimiliki. Nahh pejabat umum yang ditunjuk oleh hukum di bidang hukum perdata untuk membuat Akta Otentik adalah Notaris, sepanjang terhadap kewenangan-kewenangan yang ditugaskan kepada pejabat lain (lihat ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris).

Pejabat lain yang dimaksud misalnya untuk Akta Kelahiran dan Akta Kematian yang berwenang adalah Pejabat Catatan Sipil, Untuk Akta Perkawinan yang berwenang adalah Pejabat Pembuat Akta Nikah atau juga Pejabat Catatan Sipil serta 8 (delapan) jenis akta di bidang pertanahan yang merupakan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jadi kalau mau buat Akta Perkawinan jangan datang ke Notaris yaa.. Hehehe..

Dengan demikian, perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris (dalam bentuk Akta Notaris) berlaku sebagai Akta Otentik. Apa istimewanya Akta Otentik ini? Pasal 1870 KUH Perdata mengatur bahwa:

Suatu akta otentk memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya“. (Pasal 1870 KUH Perdata)

Saya garis bawahi kata-kata suatu bukti yang sempurna, atau ada juga yang menyebut “memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap” yang artinya adalah:

  • Tidak dapat disangkal mengenai keberadaannya (karena yang membuat adalah Notaris sebagai pejabat umum); dan
  • Tidak dapat disangkal mengenai isinya (karena akta tersebut wajib dibacakan dan dijelaskan oleh Notaris sebelum ditandatangani para pihak).

Jadi saya pikir sudah cukup jelas bahwa dalam suatu bukti tulisan dalam pembuktian hukum perdata, suatu Akta Notaris sebagai bentuk akta otentik memiliki derajat pembuktian yang paling tinggi.

Karakteristik dan Kekuatan Pembuktian Surat-surat Bawah Tangan

Nahh lalu pertanyaannya apakah setiap perjanjian harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris? Jawabannya tentu saja tidak. Kecuali terhadap bentuk-bentuk perjanjian tertentu yang diwajibkan oleh Undang-undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau Akta PPAT (misalnya: Pendirian Perseroan Terbatas, Perjanjian Jaminan Fidusia, 8 Jenis Akta di Bidang Pertanahan), maka para pihak diberikan kebebasan untuk memilih apakah akan membuat suatu perjanjian dalam bentuk Akta Otentik ataukah cukup dalam bentuk surat bawah tangan.

Surat-surat bawah tangan toh juga boleh digunakan sebagai alat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata yang berbunyi:

Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya …………….. bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik….” (Pasal 1875 KUH Perdata)

Tuhh kan, ternyata Pasal 1875 KUH Perdata tersebut menyatakan surat atau akta bawah tangan juga dapat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana suatu akta otentik, tapi ada tapinya.. Yaitu sepanjang diakui para pihak..

Lho.. Memang kalau sudah tandatangan bisa dipungkiri? Betul sekali, karena ternyata Pasal 1876 ternyata Undang-undang memberikan hak bagi para pihak untuk mengakui atau memungkiri tanda tangannya dalam suatu surat atau akta bawah tangan:

Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.” (Pasal 1876 KUH Perdata)

Selanjutnya hakim kemudian harus memeriksa kebenaran dari tulisan atau tandatangan tersebut di muka pengadilan:

Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.” (Pasal 1877 KUH Perdata)

Dalam hal ini, pihak lawan bisa saja memiliki beberapa argumentasi ketika dirinya memungkiri atau menyangkal suatu surat atau perjanjian yang dibuat di bawah tangan, misalnya:

  • Surat Perjanjian tersebut tidak pernah ada / tidak pernah dibuat (menolak secara mutlak);
  • Surat Perjanjian tersebut tidak ditandatangani olehnya (bukan tandatangannya);
  • Surat Perjanjian tersebut memang ditandatangani, tapi waktu ditandatangani isinya bukan seperti itu; atau
  • Surat Perjanjian tersebut memang ditandatangani, tapi yang ditunjukan saat ini ada perbedaan dengan pada saat ditandatangani.

Jelaslah bahwa apabila keberadaan, isi atau tandatangan dari suatu akta bawah tangan dipungkiri atau disangkal oleh pihak lawan kita ternyata menambah suatu beban pembuktian baru dalam persidangan bahwa surat atau akta bawah tangan tersebut benar-benar ada, isinya memang benar itu dan memang benar sudah ditandatangani oleh pihak lawan kita pada saat perjanjian tersebut di buat.

Kesimpulan

Suatu perjanjian memang “biasanya” dibuat diawali dengan suatu itikad baik dan rasa saling percaya. Namun ketika dalam pelaksanaan perjanjian timbul suatu konflik maka aspek hukum mengenai keberadaan dan isi dari perjanjian tersebut menjadi penting.

Sepanjang saya menjalankan praktek di lapangan, saya sudah menemui terlalu banyak orang yang terlihat baik namun ternyata tidak memiliki integritas dan etika ketika suatu perkara dibawa ke ranah hukum. Salah satunya adalah memungkiri atau menyangkal bahwa dirinya telah membuat dan menandatangani suatu perjanjian ketika perjanjian tersebut disodorkan ke hadapannya.

Bahkan yang lebih parah adalah perjanjian tersebut pada waktu ditandatangani oleh orang tersebut, ternyata tandatangan yang ditulisnya adalah bukan tandatangan dirinya (memalsu tanda tangan sendiri), sehingga ketika dibawa ke forensik untuk pembuktian tandatangan jelaslah bahwa itu bukan tandatangan dirinya, sehingga kita sebagai pihak yang dirugikan justru malah dituduh telah memalsu tandatangan.

Resiko-resiko hukum tersebut akan sangat berkurang jika suatu perjanjian dibuat di hadapan Notaris atau setidaknya dilegalisasi oleh Notaris (Notaris menyaksikan bahwa surat bawah tangan tersebut benar ditandatangani oleh orang yang bersangkutan). Mengenai akta notaris, pengesahan tandatangan (legalisasi) dan surat bawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) beserta kekuatan pembuatan masing-masing akan saya bahas dalam artikel yang terpisah.

Saya mengerti bahwa memakai jasa notaris berarti mengeluarkan biaya tambahan dalam pembuatan perjanjian, namun demikian biaya yang dikeluarkan menurut saya akan sepadan dengan resiko hukum yang dihadapi jika suatu perjanjian dibuat dalam bentuk di bawah tangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, khususnya jika perjanjian tersebut ternyata berisi hal yang sangat penting bagi anda.

Oleh karena itu, untuk perjanjian-perjanjian yang memiliki nilai yang signifikan atau berisi hal yang penting untuk anda, saya menyarankan agar dibuat dalam bentuk Akta Notaris (akta otentik) agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Salam hangat,

Arko Kanadianto, S.H., M.Kn.

Email: arko.kanadianto@corporindo.com

www.corporindo.com

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *