Wajib Bahasa Indonesia, Mahkamah Agung Batalkan Perjanjian Bahasa Inggris

Pada tanggal 31 Agustus 2015 yang lalu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan suatu putusan di tingkat kasasi yang membatalkan suatu perjanjian berbahasa inggris yang salah satu pihaknya adalah badan hukum Indonesia.

Putusan MA ini menghadirkan perdebatan baru mengenai penerapan kententuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya cukup disingkat “UU Nomor 24 Tahun 2009“). Saya pribadi termasuk yang tidak setuju dengan Putusan MA tersebut khususnya ditinjau dari pertimbangan hukum yang digunakan hakim, namun demikian sebagai bagian dari negara hukum sudah selayaknya kita menghormati suatu putusan pengadilan apapun itu.

Yang dapat kita lakukan adalah mengantisipasi implikasi selanjutnya dari Putusan MA tersebut, karena walaupun Indonesia tidak menganut asas yurisprudensi, namun bukan tidak mungkin pertimbangan hukum dalam Putusan MA tersebut diikuti oleh hakim-hakim lainnya mengingat yurisprudensi menurut doktrin tetap merupakan salah satu sumber hukum.

Ketentuan Kewajiban Menggunakan Bahasa Indonesia

Mari kita lihat pengaturan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 sebagai berikut:

Pasal 31

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Penjelasan Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
Ayat (2)
Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.

Selanjutnya jangan kita tinggalkan juga ketentuan Pasal 40 UU Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur bahwa:

Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.

Pada saat ketentuan ini diundangkan, terdapat beragam pandangan terhadap keharusan untuk menggunakan Bahasa Indonesia. Sebagian ahli hukum (termasuk saya pribadi) berpendapat bahwa memiliki terjemahan Bahasa Indonesia dari suatu perjanjian yang dibuat dan ditandatangani dalam bahasa inggris atau dibuat dalam dua bahasa (bilingual) adalah hal yang baik untuk dilakukan (nice to have).

Sejalan dengan pemikiran di atas, pendapat yang berkembang pada saat itu adalah bahwa hal tersebut hanyalah persyaratan formal tambahan, yang apabila tidak dipenuhi tidak akan mempengaruhi keabsahan dan keberlakuan dari suatu perjanjian, sepanjang telah memenuhi syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Perjanjian Bahasa Inggris Batal Demi Hukum Dalam Putusan MA

Putusan MA dimaksud adalah putusan atas pemeriksaan di tingkat kasasi dalam perkara antara NINE AM Ltd (suatu badan hukum asing yang berkedudukan di Texas, Amerika Serikat) melawan PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI (suatu badan hukum Indonesia) dengan objek perkara terkait “LOAN AGREEMENT” yang dibuat tertanggal 23 April 2010 yang dibuat dan ditandatangani di antara mereka dalam Bahasa Inggris.

Perkara ini telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam putusannya Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar. serta telah diperiksa dan diputus pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusannya Nomor 48/PDT/2014/PT.DKI sebelum akhirnya diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung yang diperiksa dan diputus melalui Putusan MA Nomor 1572 K/Pdt/2015 yang mana akan dibahas dalam artikel ini.

Untuk membatasi lingkup pembahasan, saya tidak akan membahas mengenai substansi dalam perkara tersebut, melainkan hanya akan terfokus mengenai pertimbangan hakim mengenai keabsahan dan keberlakukan suatu perjanjian yang dibuat dalam bahasa Inggris dalam hal salah satu pihaknya adalah Badan Hukum Indonesia atau perorangan Warga Negara Indonesia.

Mari kita lihat pertimbangan hukum dalam Putusan MA yang menolak permohonan kasasi dari NINE AM Ltd sebagai berikut:

-Bahwa perjanjian yang dibuat para pihak ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2010, dibuat setelah diundangkannya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tertanggal 9 Juli 2009 yang mengsyaratkan harus dibuat dalam bahasa Indonesia;

-Bahwa faktanya Loan Agreement tersebut tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, hal ini membuktikan bahwa perjanjian yang dibuat para pihak bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 sehingga dengan demikian perjanjian/Loan Agreement a quo merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang terlarang, sehingga sesuai ketentuan Pasal 1335 juncto Pasal 1337 KUHPerdata perjanjian tersebut batal demi hukum;

-Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi NINE AM, LTD. tersebut harus ditolak;

Dalam pertimbangan hakim tersebut, dapat dilihat bahwa Putusan yang diambil tidak melihat kepada substansi dari sengketa perkara yaitu pelaksanaan LOAN AGREEMENT tersebut, melainkan hakim langsung menyoroti bahwa perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Inggris sehingga dinyatakan oleh hakim bertentangan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009.

Sebagai dasar untuk membatalkannya, hakim berpendapat bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan “sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang mana hakim merujuk pada ketentuan Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1335 KUH Perdata

Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

Pasal 1335 KUH Perdata

Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Dalam hal ini, hakim berpendapat bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam perjanjian dengan pihak Indonesia, telah dilarang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009, sehingga “LOAN AGREEMENT” tersebut dinyatakan dibuat berdasarkan sebab yang terlarang. Pertimbangan hukum ini yang dijadikan dasar bagi hakim untuk menyatakan batal demi hukum suatu perjanjian dengan pihak (perorangan atau badan hukum) Indonesia yang hanya dibuat dalam bahasa Inggris.

Pentingnya Peran Penerjemah Dalam Perjanjian

Berdasarkan logika hukum yang diambil hakim dalam Putusan MA tersebut, maka untuk memenuhi ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Segala bentuk perjanjian yang dibuat dengan pihak Indonesia (lembaga negara, Badan Hukum Indonesia atau perorangan Warga Negara Indonesia, agar mengikat secara sah dan memiliki kekuatan hukum harus dibuat dalam Bahasa Indonesia.
  2. Makna kata “ditulis juga” dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009, harus ditafsirkan bahwa apabila akan ditulis juga dalam bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya) maka bahasa Indonesia tetap harus dituliskan juga. Dalam kata lain perjanjian harus dibuat dan ditandatangani dalam bentuk dua bahasa (bilingual) pada naskah aslinya.

Dari kesimpulan tersebut, dapat kita lihat pentingnya suatu proses penerjemahan perjanjian atau dokumen hukum yang bertujuan untuk mengikat yang salah satu pihaknya adalah pihak Indonesia. Bagaimana jika seorang pembuat atau penyusun perjanjian tidak memiliki kemampuan yang baik dalam menerjemahkan kata-kata secara baik dari bahasa Indonesia ke bahasa asing atau sebaliknya?

Di sini kita lihat pentingnya peran seorang penerjemah (translator) ataupun penerjemah tersumpah (sworn translator) untuk membantu pembuat atau penyusun perjanjian untuk menerjemahkan isi dari perjanjian dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya) untuk memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009, sehingga perjanjian mengikat secara sah dan memiliki kekuatan hukum menurut hukum Indonesia.

Demikian dan semoga bermanfaat.

Salam hangat,

Arko Kanadianto, S.H., M.Kn.

Email: arko.kanadianto@corporindo.com

www.corporindo.com

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *